Chapter 1
Hari Pertama
Semester baru telah berganti seiring dengan pergantian tingkat kelas siswa. Di awali
dengan pembersihan sekolah yang bisa dsamakan dengan padang rumput liar yang
membuat siswanya menyerah sebelum
bertempur. Namun beberapa senior kelas XI dan XII mengambil jurus jitu mereka
yang diturunkan secara turun temurun dari senior-senior mereka sebelumnya yakni
menggunakan tenaga bawahan mereka. sebuah sebutan bagi para siswa-siswa baru di
sekolah tersebut.
Seminggu setelah masa penjajahan
tersebut yang di pelopori oleh pihak sekolah dan antek-anteknya, upacara senin
kembali di mulai. Warga yang turut serta tak lain iyalah mereka yang menyandang
status siswa dan siswi di sekolah tersebut. Namun mungkin begitulah sistem
pendidikan modern, siswa yang datang hanya berkumpul bah gerombolan anak-anak
yang di kepung gerbang sekolah.
Keesokan harinya, aktifitas sekolah
kembali dimulai. Bel keramat yang di ketok oleh pak sutisman, salah satu
pegawai di sekolah tersebut. Siswa-siswa pun mulai berkerumun ke kelas mereka
masing-masing. Namun sistem telat masih saja menjangkiti tiap-tiap pengajar,
mungkin itu sudah mendarah daging sehingga tak dapat dipisahkan dari sistem
pendidikan. Di antara siswa-siswi yang datang telat tersebut, Fathir berlari
memburu waktu. Berharap agar dirix masih tidak lebih telat dari guru baru yang
datangnya entah kapan.
Sambil terengah-engah, Fathir mulai
memasuki kelas barunya. Dia ditempatkan di kelas XI IPA-1 dimana teman trionya
ditempatkan. Mungkin sudah menjadi suratan takdir Fathir harus kembali ke kelas
barunya bersama teman-temannya setelah sempat di kelas XI IPA-2. Namun mungkin
juga itu merupakan rekasaya politik dari pihak sekolah bahwa mereka harus di
tempatkan disana.
Suasana baru telah dirasakan Fathir, mengingat
dirinya telah telat selama seminggu semenjak keberangkatannya ke kota Daeng guna membawakan nama sekolahnya
ketingkat provinsi. Ke dua teman dekatnya juga telah akrab dengan beberapa
teman baru mereka. di kelas itu hanya tersisakan sebuah bangku kosong, tepat di
ujung kelas. Mungkin bila diandaikan, dirinya di letakkan di marauke sedangkan
pintunya iyalah sabang.
Setelah meletakkan tas miliknya di
atas meja usang nan berdebu, Fathir mulai berjalan ke meja teman trionya
yang tepatnya dua bangku di depan bangkunya, dengan sebuah bangku didepan
mereka yang melindunginya dari tatapan mematikan dari para pengajar yang duduk
searah dengan mereka. entah pengaturan posisi putra yang jumlahnya kurang satu
genap sepuluh itu. Sedangkan putrinya terhempas jauh membanjiri kelas tersebut
yang jumlahnya cukup untuk menghidupi 3 tahun jika diandaikan mereka sebagai
karung beras.
Tak lama berselang, masuklah seorang
pengajar yang mengakhiri masa kebebasan siswa-siswi dikelas tersebut selama
beberapa jam kedepan. Sang pengajar tersebut kemudiaan meletakkan tasnya lalu
menatap murid-murid didiknya yang baru bagaikan seekor semut yang bingung menghadapi
tumpahan sebungkus gula. Kemudian kelas di mulai dengan perkenalan antara sang
pengajar dengan murid-murid di kelas tersebut. Hingga akhir kelas, tak satu pun
nama yang dapat Fathir ingat. Mengingat dirinya sendiri tak mampu mengingat
dengan baik nama-nama teman serta tetangganya dirumah, bahkan kerabat-kerabat
jauh dan dekatnya yang membuat dia sering mendapat teguran dari ibunya. Baginya
menghafal nama sama dengan perkalian tingkat magister yang di kalikan dengan
nol.
Sambil tetap bertatapan dengan
teman-teman lamanya, dan bermodalkan Ridwan dengan Hasan yang tak lain adalah
teman trionya di sekolah, Fathir mencoba mengenal terlebih dahulu kaum-kaum
adam yang populasinya lebih sedikit dari pada anak cucu hawa tersebut. Hingga
jam peralihan masuk hingga kelas break, nama simpel dari teman barunya masih
sulit untuk diingat. Namun ternyata dirinya sedang aneh sehingga hingga jam
sekolah berakhir, dirinya telah mengetahui nama-nama yang cukup banyak,
terhitung dari siswa dan siswi dikelasnya namun sering tertukar.
Daftar
Terbaru
Daftar
Terbaru
0 comments:
Post a Comment