Home » » Apa dan Bagaimana Sih Pers Itu?

Apa dan Bagaimana Sih Pers Itu?

Posted by DEC Development Education and Culture on Friday, 7 December 2012



A.Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya. 
B. Fungsi dan Peranan Pers. 
Pada dasarnya, fungsi pers dapat dirumuskan menjadi 5 bagian yaitu :
1. Pers sebagai Informasi (to inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteri dasar: actual, akurat, factual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil, berimbang, relevan . bermanfaat dan etis.
2. Pers sebagai Edukasi (to educate).
Apa pun infromasi yang disebarluaskam pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan financial . namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial, Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam men, messages, dan media (1973), bagi masyarakat, pers adalah weatcher, teacher dan forum (pengamat, guru dan forum).
3. Pers sebagai koreksi ( to influence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.
4. Pers sebagai rekreasi (to intertain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai bahan rekreasi yang mnyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi smeua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.
5. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Dalam buku karya McLuhan, Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah perpanjang dan perluasan manusia (the extented of man)

C. Sejarah perkembangan pers.
Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman- pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita- berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat. 

D.  Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)
Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartawan ini terdiri atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana. 

E.  Hubungan Pers dan Politik Tinjauan History
Pada era reformasi saat ini, ada fenomena yang menarik kaitannya politik dan pers. Banyak wartawan ikut serta terjun ke dunia politik. Para wartawan kini bukan hanya memberitakan pendidikan politik “dua+dua=empat”. Mereka juga ingin menjadi balon (bakal calon) yang ingin memimpin dan menjadi pemimpin.

 F.  Hubungan Pers dan Politik Kini.
Maka itu, jika wartawan kini berpolitik terang-terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka menjadi corong rakyat bukanlah hal yang tidak mugkin. Jika mereka mematut-matut diri di rapat partai politik, tidak perlu heran bahkan, jika mereka nanti ikut bergoyang dombret dipanggung kampanye, janaan ditertawakan. Pun untuk yang menjadi peserta who want to be president? Kenapa tidak?
Duduk perkaranya tinggal di soal, bisakah ia melaksanakan tugas kewartawanan dengan baik? Bukankah wartawan punya tugas yang cukup berat? “wartawan harus berpegang teguh pada kebenaran dan setia kepada rakyat” tegas Bill Kovach dan Tom Rosendstiel (2001). Wartawan bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tidak boleh gampang was-was dan berpihak pada urusan selain berita. Kerja memverifikasi beritanya, selain harus transparan dan sistematis, mesti independen. Tidak selingkuh dengan partai poitik atau penguasa atau pengusaha. Sebab bisakah mengharapkan wartawan meliput secara benar orang yang memiliki hubungan personal, intim dan loyalitas dengannya?
Harus ada jarak personal agar wartawan. Bisa meliput dan menilai berita dengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran, sebagai penyampai kisah yang punya kredibilitas.
Pengakuan tersebut diperoleh tidak take of garanted. Tetapi secara berulang- ulang, terus-menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran yang layak dipercaya khalayak. Kredibilitas. (McNair, The Sociology of Journalism.1998).
G. Pers negatif dan positif.
Tatkala angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesia. Suara-suara alternatif yang sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung yang lepas dari sangkarnya, terbang kesana kemari. Kalau kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak ada beberapa hal penting yang menujukan perubahan wajah pers pasca- Soeharto.
Pertama, deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto seperti ditandai dengan dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitasmedia, belum dengan sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya. Sementara media yang cenderung partisan terus melakukan “sensasionalisme bahasa” seperti tampak lewat pemilihan judul (headline) yang bombantis atau desain cover yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakuakn “vulgariasasi” dan “erotisasi” informasi seks. Kalau bisa diebut sebagai pers negatif, seperti itulah kriterianya.
Kedua, maraknya apa yang disebut sebagai “media baru” (new media) dikalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet, batas-batas ruang dan waktu telah musnah. Dan banyak lagi nilai manfaat dan nilai positif yang bisa diambil dan digunakan oleh pengguna media, demi efisiensi dan efektif kegiatan sehari-hari, tak berlebih jika kategori pers seperti adalah pers positif.
Ketiga, menguatnya fenomena apa yang dikenal sebagai tesisi “imprealisme media. Fenomena ini disebablan globaliasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor yang menguasai pasar media dalam negeri.
H.  Pers Kepentingan.
Benarkah media massa bebas kepentingan? Jawabanya :tidak! Media massa selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan pesan sponsor pemilik media, agenda terselebung dewan redaktur atau pun pelampiasan idealisme si wartawan. Kecenderungan pemberitaan media massa akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sadar atau tidak, ia mampu membakar pertentangan antar suku, agama dan ras.

I.     Dampak Perkembangan Pers di Indonesia
1.    Permasalahan dalam kebebasan pers.
Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran", jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran wartawannya, kekurangan yang paling utama adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis keterampilan menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan umum, skill, dan kepandaian menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan partisipatif.
Memang era reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum memahami betul apa itu kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.
 2.    Masyarakat yang jenuh media.
Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagai masyarakat yang penuh dengan media (media saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyarakat yang dilimpahi dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual, masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Masyarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi masyarakat. “narkotiasasi” (narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari medai massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari Paul F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, “Mass Comuniation, Popular Tate and Organized Social Action” (1984), mereka menggunakan istilah “narkotizing Dysfunction” untuk menyebut konsekuensi sosial dari media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatisme
3.    Menilik wajah pers kita: antar kebebasan dan kebablasan.
Apa yang pantas kita perbincangkan wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada konstalasi politik dan konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan pers kita sudah kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di sana-sini muncul suara keluhan dan nada ketir masyarakat, yang pada intinya bermuara pada keprihatinan terhadap pemberitaan media massa yang sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya pada khalayak dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan.
Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah, keprihatinan publik ada benarnya. sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan penyelewengan-penyelewengan fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat, kurang memerhatikan unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemerasan dan intimidasi oleh insan pers.
Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang bukan saja dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga dianggap meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pemberitaan itu sendiri. Ada baiknya coba kita hitung, adakah kerugian psikologis yang dialami seseorang yang sengaja “dijebak” menjadi objek dalam sebusah acara yang seolah-olah dirinya dikejar-kejar hantu atau menjadi seorang tersangka dalam sebuah tindak kriminal. Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya?
Kita memang harus berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses pendewasaan. Cukup wajar jika di sana-sini masih dijumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyelewengan. Meski demikian, memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati pernyataan Prof, Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya.
Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus diletakkan pada pengembangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri. Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di negeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan wibawanya.
Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi lain, pers juga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak tatanan kehidupan, bahkan diintegrasikan bangsa. Untuk itulah, sekali lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang mengenai sosok pers nasional.
J.  Ancaman Kebebasan Pers.
Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga tersebut atau perorangan dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan.
Ancaman lain terhadap kemerdekaan pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata.peristiwa yng menimpa Tempo, Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang lebih memilih peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari pada menggunanakan UU Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.


0 comments:

Popular Posts

Powered by Blogger.

Followers

.comment-content a {display: none;}