A.Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang
awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.
Sesungguhnya tidak, jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan, sedangkan pers
berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses
kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan
berita melalui media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah
kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
Pada dasarnya, fungsi pers dapat
dirumuskan menjadi 5 bagian yaitu :
1. Pers sebagai Informasi (to
inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyampaikan
informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap
informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteri dasar: actual, akurat,
factual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil,
berimbang, relevan . bermanfaat dan etis.
2. Pers sebagai Edukasi (to educate).
Apa pun infromasi yang disebarluaskam pers hendaklah dalam
kerangka mendidik (to educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut
berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan financial . namun orientasi
dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan
fungsi dan tanggung jawab sosial, Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam men,
messages, dan media (1973), bagi masyarakat, pers adalah weatcher, teacher dan
forum (pengamat, guru dan forum).
3. Pers sebagai koreksi ( to
influence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative,
eksekutif, dan yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk
mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar
kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.
4. Pers sebagai rekreasi (to
intertain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pers harus mampu memerankan
dirinya sebagai bahan rekreasi yang mnyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi
smeua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan rekreatif yang disajikan mulai
dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh
bersifat negatif apalagi destruktif.
5. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau
mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang
lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa
yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama.
Dalam buku karya McLuhan, Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah
perpanjang dan perluasan manusia (the extented of man)
C. Sejarah perkembangan pers.
Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara
Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat
rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman-
pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua
macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang
sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi
Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-
berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi
yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui
oleh rakyat.
D. Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)
Sejarah perkembangan pers di dunia
khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan dari pada zaman Romawi dan
ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartawan ini terdiri
atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan
informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan
melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di
Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan
suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah
keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.
E. Hubungan Pers dan Politik Tinjauan History
Pada era reformasi saat ini, ada fenomena yang menarik
kaitannya politik dan pers. Banyak wartawan ikut serta terjun ke dunia politik.
Para wartawan kini bukan hanya memberitakan pendidikan politik “dua+dua=empat”.
Mereka juga ingin menjadi balon (bakal calon) yang ingin memimpin dan menjadi
pemimpin.
F. Hubungan Pers dan Politik Kini.
Maka itu, jika wartawan kini
berpolitik terang-terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka menjadi corong
rakyat bukanlah hal yang tidak mugkin. Jika mereka mematut-matut diri di rapat
partai politik, tidak perlu heran bahkan, jika mereka nanti ikut bergoyang
dombret dipanggung kampanye, janaan ditertawakan. Pun untuk yang menjadi
peserta who want to be president? Kenapa tidak?
Duduk perkaranya tinggal di soal,
bisakah ia melaksanakan tugas kewartawanan dengan baik? Bukankah wartawan punya
tugas yang cukup berat? “wartawan harus berpegang teguh pada kebenaran dan
setia kepada rakyat” tegas Bill Kovach dan Tom Rosendstiel (2001). Wartawan
bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tidak boleh gampang was-was dan berpihak
pada urusan selain berita. Kerja memverifikasi beritanya, selain harus
transparan dan sistematis, mesti independen. Tidak selingkuh dengan partai
poitik atau penguasa atau pengusaha. Sebab bisakah mengharapkan wartawan
meliput secara benar orang yang memiliki hubungan personal, intim dan loyalitas
dengannya?
Harus ada jarak personal agar
wartawan. Bisa meliput dan menilai berita dengan mandiri,. Dari sanalah, antara
lain kebenaran, sebagai penyampai kisah yang punya kredibilitas.
Pengakuan tersebut diperoleh tidak take of garanted. Tetapi
secara berulang- ulang, terus-menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan
konvensi kebenaran yang layak dipercaya khalayak. Kredibilitas. (McNair, The
Sociology of Journalism.1998).
G. Pers negatif dan positif.
Tatkala angin reformasi berhembus
dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi pasti mulai terkuak.
Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba kekuasaan yang
setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesia. Suara-suara alternatif
yang sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak,
seperti burung yang lepas dari sangkarnya, terbang kesana kemari. Kalau kita
coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak ada
beberapa hal penting yang menujukan perubahan wajah pers pasca- Soeharto.
Pertama, deregulasi media yang
dilakukan rezim pasca-Soeharto seperti ditandai dengan dipermudahnya memperoleh
izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan maraknya penerbitan pers. Sayangnya
peningkatan kuantitasmedia, belum dengan sendirinya disertai oleh perbaikan
kualitas jurnalismenya. Sementara media yang cenderung partisan terus melakukan
“sensasionalisme bahasa” seperti tampak lewat pemilihan judul (headline) yang
bombantis atau desain cover yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru
melakuakn “vulgariasasi” dan “erotisasi” informasi seks. Kalau bisa diebut
sebagai pers negatif, seperti itulah kriterianya.
Kedua, maraknya apa yang disebut
sebagai “media baru” (new media) dikalangan masyarakat kita akhir-akhir ini.
Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multimedia yang
semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu
luang (leisure time). Dengan Internet, batas-batas ruang dan waktu telah
musnah. Dan banyak lagi nilai manfaat dan nilai positif yang bisa diambil dan
digunakan oleh pengguna media, demi efisiensi dan efektif kegiatan sehari-hari,
tak berlebih jika kategori pers seperti adalah pers positif.
Ketiga, menguatnya fenomena apa yang dikenal sebagai tesisi
“imprealisme media. Fenomena ini disebablan globaliasi media transnasional dan
invasi produk hiburan impor yang menguasai pasar media dalam negeri.
H. Pers Kepentingan.
Benarkah media massa bebas kepentingan? Jawabanya :tidak!
Media massa selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan pesan sponsor
pemilik media, agenda terselebung dewan redaktur atau pun pelampiasan idealisme
si wartawan. Kecenderungan pemberitaan media massa akhir-akhir ini memperlihatkan
bahwa sadar atau tidak, ia mampu membakar pertentangan antar suku, agama dan
ras.
I.
Dampak Perkembangan Pers di
Indonesia
1. Permasalahan dalam kebebasan pers.
Kebebasan pers yang muncul pada masa
era reformasi ini ternyata membawa permasalahan baru. Peningkatan kuantitas
penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas
jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan
pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman",
"jurnalisme pelintiran", jurnalisme omongan", dan
tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh
melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang
bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu
saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak
media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang
menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Kemungkinan lain penyebab pers terus
disorot, bahkan ada yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang
profesionalnya jajaran wartawannya, kekurangan yang paling utama adalah soal
kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis keterampilan
menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan
umum, skill, dan kepandaian menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang
komperhensif dan partisipatif.
Memang era reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum memahami
betul apa itu kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu
sendiri. Masyarakat belum sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk
kepentingan kalangan pers sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung
pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan
bangsa dan negara.
2.
Masyarakat
yang jenuh media.
Para ahli menyebut budaya dan
masyarakat muktahir sebagai masyarakat yang penuh dengan media (media
saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyarakat yang dilimpahi
dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual, masyarakat
yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Masyarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan
narkotisasi media bagi masyarakat. “narkotiasasi” (narcotization) adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang
(dysfunction) dari medai massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari Paul
F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, “Mass Comuniation, Popular
Tate and Organized Social Action” (1984), mereka menggunakan istilah
“narkotizing Dysfunction” untuk menyebut konsekuensi sosial dari media massa
yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatisme
3.
Menilik
wajah pers kita: antar kebebasan dan kebablasan.
Apa yang pantas kita perbincangkan
wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki
sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada
konstalasi politik dan konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers
tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di
mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Namun, pada saat bersamaan muncul
juga pendapat bahwa kebebasan pers kita sudah kelewatan, alias kebablasan.
Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas kepatutan atas peran yang
dimainkannya. Di sana-sini muncul suara keluhan dan nada ketir masyarakat, yang
pada intinya bermuara pada keprihatinan terhadap pemberitaan media massa yang
sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya pada khalayak
dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan.
Berbicara tentang pers, tentulah kita
harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga
cyber media. Tak bisa dibantah, keprihatinan publik ada benarnya. sejumlah
fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media
massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan
penyelewengan-penyelewengan fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak
akurat, kurang memerhatikan unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah
kode etik jurnalistik (KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemerasan dan
intimidasi oleh insan pers.
Yang tak kalah menyeramkan adalah
tayangan televisi dan internet, yang bukan saja dianggap mengeksploitasi
pornografi dan kekerasan sehingga dianggap meresahkan masyarakat, tetapi juga
sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pemberitaan
itu sendiri. Ada baiknya coba kita hitung, adakah kerugian psikologis yang
dialami seseorang yang sengaja “dijebak” menjadi objek dalam sebusah acara yang
seolah-olah dirinya dikejar-kejar hantu atau menjadi seorang tersangka dalam
sebuah tindak kriminal. Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan
Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya?
Kita memang harus berani mengatakan
bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses pendewasaan. Cukup wajar
jika di sana-sini masih dijumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyelewengan.
Meski demikian, memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga
rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran
masyarakat kita sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati pernyataan Prof,
Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat
legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya.
Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah
pers tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu
atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas
yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab,
bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus
diletakkan pada pengembangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri. Dan
itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di negeri
ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan
wibawanya.
Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda.
Pers bisa menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi
publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun
pada sisi lain, pers juga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak tatanan
kehidupan, bahkan diintegrasikan bangsa. Untuk itulah, sekali lagi, sangat
dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang mengenai sosok pers nasional.
J.
Ancaman Kebebasan Pers.
Ancaman terberat bagi kemerdekaan
pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari
pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga
tersebut atau perorangan dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka
punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu
mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan.
Ancaman lain terhadap kemerdekaan
pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan lainnya,
khususnya KUH pidana dan KUH perdata.peristiwa yng menimpa Tempo, Koran Tempo,
Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi
masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang lebih
memilih peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari pada
menggunanakan UU Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.
0 comments:
Post a Comment